Production sharing contract dari hasil pengelolaan gas di Blok Sebuku perairan Pulau Lere-lerekang Kabupaten Majene yang dikelola Pearl Oil, termasuk salah satu hal yang patut diperjelas pemerintah. Nilainya mesti terhitung secara akurat, mengingat itu sangat terkait dengan sumber-sumber kekayaan alam daerah ini yang dimanfaatkan oleh perusahaan asing.
Terhadap persoalan itu, Komisi I dan III DPRD Sulbar telah sepakat untuk membentuk tim bersama guna memperjelas hal itu. Sebelum melakukan pertemuan dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Menteri ESDM, Mendagri, dan Pearl Oil.
Legislator Sulbar akan melakukan pertemuan dengan segenap pemangku kepentingan didaerah ini guna mendapatkan penjelasan awal, setelah itu kita ke lapangan (Pulau Lere-lerekang). Baru setelah itu kita menemui beberapa pihak di Jakarta,” kata Anggota Komisi I DPRD SulbarM Thamrin Endeng, Selasa 4 Juni.
Hal yang tidak kalah penting, kata Thamrin, yang patut diketahui saat ini adalah besaran dana bagi hasil yang akan didapatkan provinsi ini, termasuk kabupaten penghasil migas, dan bagi hasil untuk kabupaten lain di Sulbar.
Demikian halnya disampaikan Anggota Komisi I DPRD Sulbar lainnya, Harun. Menurut Harun, selain memperjelas Profit Sharing Contract yang akan didapatkan Sulbar dari pengelolaan migas, pemerintah harus berupaya dari sekarang mempertegas status Pulau Lere-lerekang.
Sebab dengan dibatalkannya Permendagri 43 Tahun 2011 oleh Mahkamah Agung (MA), seharusnya ada upaya lanjutan saat ini yang dilakukan antara Pemprov Sulbar dan Pemkab Majene untuk mempertegas kepemilikan atas pulau tersebut. “Jangan malah terkesan bergerak sendiri-sendiri, dan DPRD harus terlibat di dalamnya,” sebut Harun.
Sementara itu, Ketua DPRD Sulbar Hamzah Hapati Hasan menegaskan, persoalan Lere-lerekang harus mendapat perhatian serius. Ada banyak aspek di dalamnya yang harus diperjelas.
“Kita sudah tahu kalau provinsi lain selalu ingin merebut pulau, maka kita juga harus lebih kuat mempertahankan. Makanya saya sangat setuju kalau Komisi I dan III segera bergerak dan membantu pemerintah daerah mengurusi upaya penegasan kepemilikan pulau tersebut,” sebut Hamzah.
Hitungan Dana Bagi Hasil
Sebelum dilakukan pembagian penghitungan bagi hasil, hal pertama yang harus diketahui adalah definisi daerah penghasil, ini sangat penting karena akan memengaruhi prosentase perhitungan bagi hasil. Apabila suatu lokasi pertambangan berada di darat (onshore), tentu mudah menentukan lokasi wilayah dari pertambangan tersebut. Namun yang menjadi masalah, bagaimana menentukan kriteria daerah penghasil bagi lokasi yang terletak di laut (off shore).
Jika wilayah pertambangan migas tersebut berada di atas 12 mil dari daratan, maka lokasi tersebut dianggap masuk wilayah pemerintah pusat.
Jika wilayah pertambangan tersebut berada antara 4 sampai 12 mil, maka itu dianggap masuk wilayah pemerintah provinsi dimana lokasi tersebut berada.
Jika wilayah pertambangan tersebut berada kurang dari 4 mil, maka lokasi pertambangan tersebut dianggap masuk wilayah pemerintah kabupaten/kota dimana lokasi tersebut berada.
Aspek Hukum
Pengelolaan sumberdaya alam, termasuk gas bumi tentu memiliki aspek hukum yang menjadi acuan. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mamuju Muhammad Hatta, Production Sharing Contract (PSC) pengelolaan gas bumi mengacu pada sejumlah peraturan. Mulai dari UU No.22 Tahun 2001, PP No. 42 Tahun 2002, PP No. 35 Tahun 2004, dan PP No 34 Tahun 2005.
Pembagian keuntungan prouksi pengelolaan gas juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Pengaturan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, dan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Dijelaskan, dalam UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 14 huruf (f) disebutkan, penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan perimbangan 69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah.
“Sekarang pemerintah, baik pemprov maupun Pemkab Majene harus memikirkan bagaimana agar hak-hak yang seharusnya didapatkan daerah ini tidak terlepas karena status Lere-lerekang yang terus digugat provinsi lain. Yang jelas, Lere-lerekang ini adalah urusan bersama,” kata Hatta.(RadarSulbar/Al)
0 komentar:
Posting Komentar